Selasa, 18 Maret 2008

Asal Muasal : Sandya-kala vs Candik-olo

Apakah candik-olo itu?

Mari kita telusuri etimologinya.
Sandyakala berasal dari kata sandy dan kala.
Sandy = sandi artinya samar-samar, tersamar. Kata sandi = kata tersamar.
'Sandy' sama juga dengan 'sandi' alias 'sandya' yang berubah menjadi 'senja' yang artinya juga samar-samar. Nah senja hari itu artinya waktu yang mana penglihatan sudah mulai samar-samar, menjelang malam, saat matahari mulai tenggelam, ya kira-kira waktu maghrib-lah.

Kala artinya waktu, saat, era.
Jadi sandyakala artinya waktu atau saat suasana mulai samar-samar (antara kelihatan dan tidak).
Nah, sandyakala ini (atau senja kala atau senja saja) kemudian diartikan sebagai waktu saat matahari mulai tenggelam. Kadang dipakai sebagai kiasan, bahwa sesuatu sudah menjelang 'malam', 'menjelang gelap', 'menjelang bubar', 'menjelang runtuh'.
Jadi buku berjudul 'Sandyakalaning Majapahit' maksudnya adalah saat-saat Majapahit menjelang runtuh.

Dalam bahasa Jawa (di jaman orang tua-tua dulu) sandyakala ini yang seharusnya dibaca sandya-kala malah berubah menjadi candikala yang harusnya dibaca 'sandi-kala', malah ada menyebut 'candi-kala', kemudian bergeser membacanya menjadi 'candik-ala', yang maksudnya saat tidak baik. Lihat pemotongan katanya berubah dan 'candi-kala' menjadi 'candik-ala'

(oh ya, 'kala' dibaca 'kolo' dan 'ala' dibaca 'olo')
Kapan 'saat tidak baik' itu? Ya di senja menjelang malam itu, sebab di pergantian waktu menjelang malam ini udara berubah menjadi dingin dan lembab (sementara udara di dalam rumah hangat dan lebih kering), sehingga mudah membuat orang sakit..

Pada saat 'candik-ala' itu anak-anak dilarang duduk dipintu karena waktu yang 'ala', waktu yang tidak baik, banyak setan, jin, makhluk halus, lewat dst. (kata orang tua dulu lho).
Ya memang sih, kalau duduk di depan pintu sementara angin malam mulai bertiup dari luar rumah masuk ke dalam rumah, bisa membuat orang masuk angin.

Namanya juga anak-anak, kalau dibilang jangan duduk di pintu nanti masuk angin, anak-anak akan bertanya mengapa? Dan orang tua susah menjawabnya. Kalau dibilang jangan duduk di pintu sebab sedang candik-ala, banyak setan lewat, tentu anak-anak tidak tanya lagi . . . . . takut !
Demikian kisah sandya-kala yang berubah menjadi candik-ala
Salam,
Wd

Wayang Ngawur (2) : Karna dan senjata Kunta

Karna yang berarti telinga (sebab kata dalang dia lahir melalui telinga) juga biasa dipanggil Baso Karna, Adipati Karna. Selain itu dia juga sering disebut Suryaputra, Suryatmaja atau Surya Atmaja yang berarti anaknya Surya (Batara Surya). Dia mempunyai senjata yang sangat ampuh bernama Kunta Wijayandanu atau Kunta.

Kunta berupa keris / tombak. Senjata ini bisa dipakai sebagai keris seperti saat masih baru (milik dewa) atau bisa juga dipasang di ujung anak panah sebagai senjata panah. Bagaimana Karna memperoleh senjata ampuh & andalan ini, kronologisnya begini.

Alkisah saat itu para dewa merilis senjata baru bernama Kunta dan mau diberikan kepada manusia yang paling berjasa pada para dewa dan prestasi lain juga bagus. Kemudian diumumkan di koran-koran, siapa saja yang mau boleh ikut sayembara guna mendapat Kunta, semacam tender terbukalah. Maka berduyun-duyunlah para manusia membuat proposal ke dewa, baik mencalonkan dirinya sendiri maupun mencalonkan orang lain (seperti proses penentuan pemenang Kalpataru jaman sekarang), tidak terkecuali Arjuna dan Karna. Proposal dilengkapi dengan referensi dari atasan, bawahan, keluarga, tetangga, oraganisasi, dll. Referensi dari pemuka agama juga diperlukan sebagai bukti Iman ybs kuat, dari Budayawan juga kalau calon aktif / berjasa di bidang kesenian / olah rasa. Tidak ketinggalan semua piagam / piala Olah Raga (OR) disertakan, baik OR yang berkeringat yang disebut sport semacam ping-pong, sepak bola, tangkis bulu, dll. maupun yang tidak sampai berkeringat yang disebut games seperti bola sodok, karambol, catur, bridge, dll. Kalau bahasa para dalang sih katanya dengan bertapa.

Dari sekian banyak proposal yang masuk maka Arjunalah yang dianggap paling bagus. Panitia yang terdiri dari para dewa itu lantas memanggil semua peserta untuk berkumpul di aula. Batara Narada sebagai ketua panitia segera mengumumkan pemenang yang berhak menerima Kunta. Saat diumumkan itu Arjuna sedang berada toilet, maklum stress berat menunggu pengumuman. Narada yang juga wakil presiden para dewa --dalam rangka membuat kejutan-- segera memanggil orang di depannya yang sangat mirip dengan Arjuna, orang tersebut --yang ternyata Karna-- segera maju dan Narada kemudian menyerahkan Kunta kepadanya, sebab Narada mengira dia Arjuna. Tentu Karna dan kawan-kawannya sangat gembira. Upacara kemudian selesai dan hadirin bubar, termasuk Narada yang segera menuju kendaraan dinasnya untuk kembali ke kantornya.

Syahdan ada seorang wartawan yang terlambat datang ke upacara itu, karena jalan macet akibat sampah bertumpuk di badan jalan. Si wartawan saat berpapasan dengan Narada yang sedang menuju kendaraan tadi bertanya, siapa yang memenangkan tender terbuka tersebut dan dijawab oleh Narada bahwa dialah Arjuna. Ketika ditanyakan alasannya, Narada menjawab bahwa Arjunalah yang paling banyak jasanya ke rakyat, negara dan dewa . Dia juga rajin ke candi / pura. Prestasi dibidang olah raga khususnya memanah juga hebat, dia adalah jawara di bidang ini, kecuali pernah dipermalukan sekali oleh pemanah bukan unggulan yaitu Palgunadi *). Di bidang seni juga berprestasi karena dia pandai menari bahkan pernah menjadi dosen tari. Pokonya paling lengkaplah. Sang wartawanpun hanya bisa manggut-manggut.

Kemudian sang wartawan menuju aula di mana masih banyak orang di sana dan bercerita tentang kemenangan Arjuna pada kompetisi ini. Berita ini membuat geger hadirin yang ada di situ, sebab mereka tahu bahwa pemenangnya adalah Karna dan Kunta telah diserahkan kepada Karna. Ketika Arjuna bertanya dengan sangat serius dan sempat mengancam mau membunuhnya jika bohong, sang wartawan sumpah-sumpah bahwa dia tidak bohong dan sanggup disambar geledek tujuh kali kalau ngibul.

Lalu Arjuna mendatangi Karna dan meminta senjata Kunta yang merupakan haknya tersebut. Tentu saja Karna menolak, maka terjadilah percekcokan yang berujung ke perkelahian. Ramai dan lama sekali mereka berkelahi. Berita inipun segerea menyebar ke seantero penjuru dan sampailah ke Narada. Narada kemudian menyadari bahwa telah memberikan Kunta ke orang yang salah, sungguh dia sangat menyesal dengan kejadian ini. Lha, dewa kok ya bisa salah melihat wajah seseorang dan salah memberikan benda yang sangat penting, berharga dan berbahaya itu. . . . . . nggak habis-habisnya dia menyalahkan diri sendiri, tentu di dalam hati saja.

Narada kemudia kembali ke depan aula tempat dua orang dengan wajah mirip sedang berkelahi. Pada saat itu Arjuna yang mau merampas paksa senjata Kunta berhasil memegang warangka / sarungnya, sementara Karna memegang gagangnya. Ketika Arjuna sekuat tenaga membetotnya, lepaslah Kunta dari sarungnya. Keduanya orang itu jatuh terjengkang ke belakang. Karna memegang kerisnya, sementara Arjuna mendapat sarungnya. Pada saat itu pula Narada datang dan memisah yang sedang berkelahi dan mengatakan bahwa kejadian ini 'sudah kehendak dewa', sebuah alasan sakti yang tidak akan dibantah oleh siapapun. Lalu Narada memerintahkan agar Karna tetap sebagai pemilik tombak Kuta dan Arjuna sebagai empunya sarungnya saja, walaupun katanya sarungnya juga tidak kalah ampuhnya dari senjatanya.
Sebagai penutup Narada berkata bahwa suatu saat nanti Kunta senjata dan sarungnya akan menyatu kembali ketika ada peristiwa 'curiga manjing warangka' **)

Widarto

*) Dalam cerita Palguna-Palgunadi.
**) Dalam kisah curiga manjing warangka tentunya

Wayang Ngawur (1) : Kisah Lahirnya Karna

Alkisah Dewi Kunti, remaja putri, yang putri raja itu mendapat hadiah ulang tahun yang sangat berharga dari gurunya.. Hadiah itu berupa ‘handphone / hp’ yang saat itu merupakan barang super mewah dan super canggih. Yang punya hp saat itu hanya para dewa saja. Maka Dewi Kunti lalu mencoba-coba hp tsb, tentunya hanya bisa berhubungan dengan para dewa. Nah, suatu hari Dewi Kunti iseng-iseng menghubungi salah satau nomor, eh ternyata itu nomor hp-nya Batara Surya, seorang dewa yang menjabat sebagai Manager Tata Surya, dia yang mengatur segala hal terkait dengan tata surya, termasuk peredaran, kecepatan edar, jarak dan pernak-pernik mengatur tata surya.
Dari ngrumpi tiap hari itu, suatu saat Batara Surya mengajak temu darat, oleh Dewi Kunti diiyakan saja, sebab menurut perhitungannya itu tidak mungkin alias hil yang mustahal, sebab jarak keduanya (bumi-matahari) suangat jauh dan perlu biaya yang besar untuk menemui sang Dewi.
Eh, ternyata malam harinya Batara Surya benar-benar datang di kediaman Dewi Kunti. Maka merekapun ngrumpi ke sana kemari. Lama kelamaan ya masuk ke area berbahaya, ya namanya ada 2 orang lelaki dan perempuan berduaan, di malam hari lagi. Kencan inipun berlanjut di malam-malam selanjutnya. Maka terjadilah yang ada di lagunya Dian Pisesa :” Mulanya biasa saja, …. akhirnya hamil juga ….”. Hal ini tentunya membuat orang tua Dewi Kunti kalang-kabut. Maka mengenai hamilnya Dewi Kunti dirahasiakan dengan sangat-sangat rapat.Ketika tiba waktunya Dewi Kunti melahirkan, agar tidak diketahui calon suaminya kelak –bahwa sang dewi pernah hamil–, kelahiran dilaksanakan secara sesar alias bedah perut. Kalau menurut dalang sih sang bayi diambil dari telinga Dwi Kunti, entah memang begitu atau ini hanya kiasan saja bahwa kelahiran sang jabang bayi ’sangat dirahasiakan’, rumput dan daun tidak boleh mendengar, apalagi telinga. Kemudian sang bayi dilarung (dihanyutkan) di sebuah sungai.Bayi tersebut lantas ditemukan dan dipelihara oleh seorang pertapa merangkap seorang guru, dia kemudian diberi nama Karna (yang artinya telinga). Dia kemudian dididik, diajari beladiri sampai tingkat paling tinggi, disekolahkan sampai jadi sarjana. Setelah itu baru disuruh mencari orang tuanya. Akhirnya dia kesasar ke Astina yang ternyata diterima dengan baik, diberi pekerjaan yang baik, bahkan belum 6 bulan menjabat sebagai Komandan Kompi sudah diangkat menjadi Bupati Awangga oleh raja Astina, sang Duryudana. Dia bahkan dikawinkan dengan Dewi Surtikanti, yang merupakan kakak dari istri Duryudana sendiri yang bernama Dewi Banowati. Sang dewi ini merupakan (Teman Tapi Mesra) TTM-nya Arjuna yang terkenal play boy. Tentunya Karna dibaik-baiki dengan harapan akan membela Kurawa kelak di perang Barata Yudha, dan memang Karna sangat setia kepada Kurawa.

Widarto